Mathla’ul Anwar Linahdlatil Ulama (MALNU) menjadi salah satu lembaga pendidikan populer yang dimiliki NU di Menes, Pandeglang, Banten. Kehadirannya sangat berpengaruh terhadap upaya penyebaran Islam Ahlusunnah wal Jamaah di tanah jawara. Berawal dari nama Mathla’ul Anwar (MA) tahun 1916, MALNU terus melakukan transformasi kaitannya dengan penyebaran Islam rahmatan lil ‘alamin di dunia pendidikan.
Ahlussunnah wal Jama’ah sendiri merupakan sebuah aliran atau paham yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. KH Bisri Musthofa mendefinisikan Aswaja yaitu aliran yang menganut madzhab fiqih yang empat, yakni Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Disisi lain Aswaja merupakan paham yang mengikuti al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang akidah, sementara dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid al-Bagdadi dan Imam Ghazali.
Paham Aswaja banyak diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia khususnya diikuti oleh warga NU, yang di dalamnya mempuyai beragam konsep yang jelas dilandasi dengan dalil-dalil yang qath’i. Adapun salah satu konsep yang terkandung dalam ajaran Aswaja yaitu, tawasuth, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi mungkar. Yang dimaksud tawasuth (moderat), adalah sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam.
Tawazun (seimbang), adalah sebuah keseimbangan keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia menghitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang proporsional. Amar ma’ruf nahi mungkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran.
Mathla’ul Anwar sebagai lembaga pendidikan di Banten menjadi wadah pengembangan Islam Ahlusunah wal Jamaah. Di Usianya yang lebih dari satu abad, MA telah melahirkan banyak alumni yang berkontribusi penuh untuk agama bangsa dan negara. Jika dihitung dari awal mulai berdirinya MA tahun 1916 tersebut maka usia Malnu kini sudah mencapai 103 tahun, usia yang sudah tidak muda lagi. Meski tidak ada kata Nahdlatul Ulama di belakangnya, MA kala itu menjadi lembaga pendidikan yang komtimen menebarkan haluan ahlusunah wal jamaah seperti yang diajarkan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani serta KH Hasyim Asy’ari, bahkan hampir seluruh alumni dari MA tahun 1916 tersebut menjadi seorang kiai dan mendirikan pesantren di sejumlah daerah di Indonesia. Tentunya dengan nafas yang sama yakni ideologi islam ahlusunah wal jamaah.
Berbeda jika menghitung usia MALNU dilihat dari dinamika para pendiri MA tahun 1953 pasca Muktamar NU di Palembang, jika dihitung dari tahun tersebut maka kini MALNU baru berusia 66 tahun. Berdasarkan catatan sejarah, tahun itu menjadi awal mula dualisme antara MA dan NU. Saat itu, salah satu tokoh MA Uwes Abu Bakar tidak sepakat NU keluar dari Masyumi dan kekeuh ingin MA menjadi bagian dari Masyumi. Perbedaan paham tersebut telah menyebabkan MA yang semula sudah berubah nama menjadi MALNU kembali berubah namanya menjadi MA saja.
Sementara tokoh sepuh MA yang mengikuti keputusan Muktamar NU di Palembang tahun 1952 antara lain KH Abdul latief dari Nanggorak, Menes dan KH M. Zunaedi bin KH E. Muhammad ulama Pandeglang yang juga alumni Al-azhar, Mesir tetap melanjutkan komitmen awal yakni mengembangkan lembaga pendidikan Matlalul Anwar dengan nama MALNU dan berafiliasi dengan organisasi terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Keputusan itu ternyata didukung oleh kebanyakan ulama di Banten kala itu.
Kini Malnu berkembang pesat di Kabupaten Pandeglang dan beberapa daerah di luar Provinsi Banten. Jumlah murid yang belajar di Malnu Pusat, Menes, Pandeglang mencapai 10.000-an. Jenjang yang terus dikembangkan oleh Malnu tersebut yakni Pondok Pesantren, Pendidikan Anak Usia Dini, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Untuk lebih mendalam bagaimana perkembangan MALNU di Banten, wartawan NU Online, Abdul Rahman Ahdori, Ahad (22/10) lalu menemui Sekretaris Umum Mathla’ul Anwar Linahdlatil Ulama (MALNU) Pusat, KH Barul Amiq di Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Berikut petikan wawancaranya:
Bisa dijelaskan Pak Kiai bagaimana proses lahirnya lembaga pendidikan MALNU?
Jadi intinya Malnu sesuai nama Matla’ul Anwar Linahdlatil Ulama ini adalah lembaga pendidikan bukan Ormas, sekali lagi ini adalah lembaga pendidikan bukan Ormas. Nama ini tidak terlepas dari MA itu sendiri, jadi tahun 1916 dalam sejarah dinyatakan berdiri MA. Pendiri MA yang paling pokok Abdurahman bin Jamal, TB Sholeh Kananga, Kiai Yasin kemudian Kiai Arsyad. KH Rusdi anak dari Kiai Arsyad. MA diawalnya adalah ketika berdiri karena membutuhkan murid maka diantara murid yang dijadikan murid MA itu adalah santrinya KH Arsyad, KH Arsyad punya anak Kiai Rusdi, Kiai Rusdi punya anak namanya Kiai Ma’ani, Kiai Maani punya anak TB Hamdi Ma’ani (Ketua MALNU Pusat saat ini).
Berarti Abah Hamdi ini adalah cicit dari pendiri MA. Singkatnya MA adalah bukan organisasi masyarakat tetapi lembaga pendidikan, disana mengelola dari mulai kelas 1 sampai dengan kelas 7. Dalam bentuk lembaga pendidikan, jenjangnya belum ada SD Tsanawiyah pokoknya kelasnya 1-7 baru dinyatakan lulus pengabdian ke masyarakat dikirim ke Karawang, kirim ke Lampung, kirim ke Bogor dan sebagainya.
Lalu, apa kaitannya MA dengan Nahdlatul Ulama mengapa nama lembaganya bernama MALNU?
Nah seiring perjalanan waktu tahun 1926 berdirilah Nahdlatul Ulama, karena pendiri MA itu dulu pernah bareng-bareng mesantren atau belajar di Syekh Nawawi maka Mbah Hasyim Berkeinginan supaya MA ini gabung dengan NU.
Bahkan kalau dalam catatan sejarah ini, pendiri MA itu ikut mendirikan NU, lebih kongkretnya lagi dua tahun kemudian 1928 putusan Mbah Hasyim supaya di MA ini di Menes ini dijadikan NU Cabang Menes, jadi di daerah Banten pertama ada NU itu ada di Menes, salah satu Raisnya adalah Kiai Abdurahman, Mustasyarnya adalah Kiai Arsyad. Dua-duanya adalah pendiri MA,kemudian saat itu juga ada yang datang kesini diantaranya adalah KH Abdul Halim Malalengka Bapaknya KH Asep Saepudin yang punya Pesantren Amanatul Ummah di Surabaya, Kiai Abdul Halim mendirikan NU cabang Menes berdirilah, tempat kumpulnya di Kampung Kadu Hawuk tahun 1928, dua tahun setelah NU Berdiri.
Atas berdirinya NU ini sehingga ada konsensus lembaga pendidikan manapun yang itu adalah mahabbah NU, maka dibelakangnnya harus ada embel-embel NU, maka Mathlaul Anwar menjadi Mathla’ul Anwar Li Nahdlatil Ulama, termasuk Lembaga Pendidikan lain seperti Jauharotul Naqiyah Cibeber menjadi Jauharotul Naqiyah Li Nahdlatil Ulama, ada lagi Lembaga Pendidikan yang didirikan KH Syam’un, awalnya hanya Al-Khaeriyah berubah menjadi Al-Khaeriyah li Nahdlotil Ulama.
Hanya sekali lagi yang Jauharotul Naqiyah Li Nahdlatil Ulama ini dan Al-Khaeriyah di Cilegon saat ini tidak ada Nahdlatil Ulamanya, Jauharotul Naqiyah saja, Al-Khaeriyah saja, hilang NU-nya. Kenapa hilang NU-nya? salah satu yang saya tahu persis, karena ada permainan dinamika yang dimainkan olek kalangan tertentu, di mana syarat mendapatkan bantuan bagi lembaga pendidikan harus hilang Nahdlatul Ulama-nya.
Boleh bantuan ini diterima asalkan NU dihapus, sehingga Jauharotul Naqiyah saja dapat bantuan gede yang masih memepertahankan belakangngnya Li Nahdlatil Ulama ini hanya MALNU. Seiring dengan adanya konsesnsus tadi NU juga ingin mendirikan lembaga pendidikan juga maka berdirilah Ma’arif Nahdlatul Ulama atau LP Ma’arif NU berdirinya tahun 1929 sehingga LP Ma’arif NU berdiri 1929 tanggalnya berapa yang jelas September atau Oktober. Jadi sekali lagi MALNU intinya sama dengan Ma’arif NU karena tadi ada kesepakatan setiap lembaga yang dimiliki oleh orang NU belakangnya harus ada Nahdlatul Ulamanya, lah lembaga pendidikan yang ada dulu kan semuanya Pesantren, nah MA ini sudah ada sekolahan 1916 di Menes.
Dan atas dasar itu di tahun 1936 itu Abdurahman itu menjadi Syuriyah di PBNU termasuk KH Rusdi sehingga di Menes ini sudah ada yang menjadi pengurus Pusat PBNU. Siapa itu orang MALNU terbukti untuk menunjukan di Menes ini NU-nya bagus 1938 dilaksanakan Muktamar ke 13 di Alun-alun Menes, sehingga dalam Muktamar paling bersejarah dalam hal keputusan-keputusan itu diantranya di Menes ini. Diantaranya berorganisasi di NU itu hukumnya wajib, Muktamar Menes itu.
Maka jangan kaget kalau Malnu ini kekeh tidak mau dihilangkan NU-nya karena ikut NU itu hukumnya wajib (hasil Muktamar).Jadi Malnu itu mempertahankan hasil Muktamar NU atau memperkuat hasil Batsul Masail kaitannya dengan wajibnya mengikuti NU itu sudah kuat kaitannya dengan ke NU-an ini nah disitulah terus berjalan, lembaga pendidikan berjalan sebagai mana mestinya, dengan adanya Muktamar Menes. Termasuk Muktamar ini sebagai embrio lahirnya Muslimat NU.
Lalu bagaimana dinamika yang berkemabang sehingga muncul dua lembaga MA dan MALNU?
Tahun 1938 Ketua MA itu Ketua NU, kemudian tahun 1940, 1950 sampai tahun 1955 Ketua MA itu namanya Uwes Abu Bakar, itu ya Ketua NU Cabang Menes, jadi NU di Banten ini di Menes ini.
Sehingga tahun 1952 Muktamar NU di Palembang peserta dari Banten ya Menes ini, Uwes Abu bakar sama dengan dari Serang Ayip Mahdi. Singkatnya hasil Keputusan Palembang diantaranya adalah NU keluar dari Masyumi, dari Menes sepakat bahwa NU keluar dari Masyumi, pulang Muktamar tahun 1953 Uwes Abu Bakar ini tidak mau NU-nya tetep mau diambil Masyumi-nya karena uwes Abu Bakar ini Masyumi yang juga ketua MA dan Ketua NU tadi. Dan memang Uwes Abu Bakar itu menjadi DPR dari Masyumi, tahun 1953 itulah maka yang asli NU berpegang ke Malnu-nya yang mau ke Masyumi mengambil MA-nya saja.
Yang kekeh ke MA itu uwes Abu Bakar itu. Sementara yang ikut ke Malnu Kiai-kiai sepuh tokoh-tokohnya anak-anak Kiai Abdurahman ke Malnu, Kiai Junaidi bin KH Entol Yasin juga di Malnu, Kiai Abdul Mu’ti Malnu, Kiai Ahmad Malnu jadi singkatnya kiai sepuh yang tahu sejarah MA menjadi Malnu sehingga tahun 1953 kiai sepuh berpegang teguh ke NU ke MALNU yang mau ke Masyumi silahkan ke MA Sehingga tahun 1948 lima tahun berikutnya MA dinotariskan sebagai sebuah Ormas, menjadi Ormas bukan lembaga pendidikan.
Ormas disitu ada lembaga pendidikannya tapi dalam notarisnya 1958 adalah MA sehingga orang MA sendiri sebetulnya kalau ditanya ‘hei kamu MA? kamu MA 1916? dan 1926?, MA 1938?MA 1932?Atau kamu MA yang mana. Tahu gak 1916-1926 yang waktu itu ada NU orang MA gabung dengan NU buktinya Muktamar 1938 digelar di Menes bahkan ketua Panitianya KH Muhammad Entol Yasin pendiri MA, diganti oleh menantunya Kiai Rusdi bapaknya Kiai Ma’ani.
Kiai Rusdi itu ketua panitianya sehingga singkatnya orang-orang MA itu menjadi panitia Muktamar NU pendiri MA Malnu itu tahun 1938 itu Sekali lagi begitu pulang dari Muktamar Palembang 1992 secara politis yang tidak sepakat keluar dari Masyumi tetep di MA yang mau keluar dari Masyumi ke MALNU, jadi sejarah Malnu tidak terlepas dari dinamika NU-Masyumi. MA itu ya Maasyumi buktinya Uwes Abu Bakar DPR Masyumi sudah tahu Masyumi dengan NU gimana, beriringan dengan itu Singkatnya Soekarno Jatuh dan menjadi Orde Baru tahun 1966, Partai NU ada 1971, NU kuat, 1955 NU kuat nah Mama sebagai orang Malnu kuat NU-nya DPR dari NU, KH Maani Rusdi bahkan beliau sangat dekat sekali dengan Idham chalid Ketua Umum PBNU yang saat Pemilu 1955 itu beliau menjadi Wakil Perdana Menteri beliau dekat sekali, bahkan Idham Chalid menang jadi Ketua PBNU itu tim suksesnya Mama (KH Rusdi)
Banyak juga yang menyampaikan bahwa munculnya dinamika MALNU dan MA dilatarbelakangi oleh dinamika politik nasional saat itu, bagaimana penjelasan Kiai?
Begini, singkatnya saat itu ada Partai Golkar Berdiri, Masyumi (MA) masuk menjadi Anggota Sekber Golkar. Diantaranya adalah Kosgoro sama MA. Sehingga MA pasti Golkar dari situlah maka MA dibek-up secara politik oleh Golkar, sehingga Mama (KH Rusdi) yang di Malnu dengan kekuatan NU-nya dicari kesalah-salahannya sehingga Mama (KH Rusdi) masuk penjara, dengan mencari-cari kasus.
Banyak Kiai di Pandeglang yang dipenjara saat itu seperti Buya Dimyati juga masuk Penjara gara-gara Politik, gara-gara mau mengeluarkan Mama (KH Rusdi) di penjara itu jadi sekali lagi dalam perkembangannya selama ada Golkar, MA ini maju berkembang, Malnu cabang-cabangnya hilang, kebanyakan hilang seperti di Lampung dan di Karawang. Jadi saat itu Malnu lawan Golkar,kamu tahulah zaman itu, jadi saat orde baru Golkar itu kuat sampai Mama dipenjara, sekolah-sekolah Malnu hilang misalnya ada Malnu karena tadinya ada guru PNS dari Malnu diperjuangkan Malnu, begitu dia meninggal penerusnya tidak ada.
Pemerintah mengasingkan dan tidak memberikan bantuan, lama-lama muridnya sedikt, bangunannya roboh. Ada Malnu di pulosari itu sama sampai ganti nama jadi Bahrul Ulum,Bersyukur saat itu Malnu masih bertahan, saat itu ada cabang-cabang Malnu yang masih ada itu di Lebak, masa itu ada dua yang kuat ada Tsanawiyah Malnu, ada Aliyah Malnu bahkan di Lampung masih ada, Pandeglang masih ada. Jadi memang masa orde baru MALNU diminta jangan hidup oleh beberapa kelompok penguasa, jangan lihat sekarang, dulu saat mau mengembangkan lembaga ini banyak penekanan.
Saya ambil contoh misalnya ada tamu Gubernur DKI Suryadi, mau datang ke mama kesini ketahuan sama Bupati karena bupatinya, biar kiai maani saja yang kesana, singkatnya zaman orde baru itu jangan kan bupati Camat aja mau ke Malnu takut dicopot. Nanti karena dianggap ke PPP atau ke NU. Semua NU di Banten seperti itu sehingga yang tadinya nama lembaganya bernama NU berubah bukan NU lagi Nahdlatul Ulum Nahdlatul apa, nah tapi tetap konsisten dalam pengembangan pendidikan.