Sudah maklum bahwa di antara kebiasaan masyarakat Indonesia ketika ada anggota keluarganya meninggal, maka selama 7 hari sejak kematiannya diadakan tahlilan. Tahlilan merupakan kegiatan membaca serangkain surah Al-Quran, kalimat tahlil, tasbih, tahmid, shalawat, istighfar secara bersama atau sendirian, yang pahalanya dihadiahkan pada orang yang telah meninggal tersebut. Bagaimana hukum tahlilan menurut para ulama?
Mengenai hukum tahlilan sendiri, sebenarnya tidak ada kata sepakat di kalangan para ulama. Sebagian ulama menghukumi boleh, dan sebagian ulama lain menghukumi tidak boleh. Namun secara umum, para ulama di kalangan ulama 4 madzhab berpendapat boleh mengadakan tahlilan untuk orang meninggal dan pahalanya sampai padanya.
Di antara ulama dari kalangan ulama Hanafiyah yang menghukumi kebolehan tahlilan adalah Imam Al-Zaila’i. Menurut beliau, boleh menghadiahkan amal kebaikan, bacaan Al-Quran dan lainnya pada orang yang meninggal, dan itu bisa bermanfaat padanya. Dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq, beliau berkata sebagai berikut;
أَنَّ الْإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ، عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُه
Boleh bagi seseorang menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Al-Quran, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya.
Dari kalangan ulama Malikiyah, yang membolehkan tahlilan adalah Imam Al-Dasuqi. Menurut beliau, jika seseorang membaca Al-Quran atau zikir, dan kemudian pahalanya dihadiahkan pada orang yang meninggal, maka hal itu boleh dan pahalanya sampai padanya. Dalam kitab Hasyiah Al-Dasuqi ‘ala Al-Syarh Al-Kabir, beliau berkata sebagai berikut;
وَإِنْ قَرَأَ الرَّجُلُ، وَأَهْدَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لِلْمَيِّتِ، جَازَ ذَلِكَ، وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ أَجْرُهُ
Jika seseorang membaca Al-Quran, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit tersebut.
Sementara menurut Imam Syafii dan ulama Syafiiyah, membacakan Al-Quran untuk orang yang meninggal, terutama setelah dikuburkan, hukumnya adalah sunnah. Bahkan dianjurkan untuk mengkhatamkan Al-Quran di dekat kuburan mayit yang baru dikuburkan.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berikut;
قال الشافعي والاصحاب : يستحب ان يقرؤا عنده شيئا من القرأن. قالوا : فأن ختموا القرأن كله كان حسنا
Imam Al-Syafii dan ulama Syafiiyah berkata; Dianjurkan bagi mereka (keluarga jenazah dan lainnya) untuk membaca sebagian Al-Quran di dekat kuburan jenazah. Mereka berkata; Jika mereka mengkhatamkan seluruh Al-Quran, maka hal itu sangat baik.
Adapun dari kalangan ulama Hanabilah, di antara yang membolehkan tahlilan adalah Imam Ibnu Qudamah. Menurut beliau, semua bentuk kebaikan seperti zikir, istighfar, dan lainnya boleh dihadiahkan pada orang yang meninggal. Dalam kitab Al-Mughni, beliau berkata sebagai berikut;
وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا، وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ، نَفَعَهُ ذَلِكَ، إنْ شَاءَ اللَّهُ. أَمَّا الدُّعَاءُ، وَالِاسْتِغْفَارُ، وَالصَّدَقَةُ، وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ، فَلَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا.
Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban, maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama (mengenai kebolehannya).